Manusia Tidak Dapat Dihancurkan Selama Masih Setia Pada Hatinya


Breaking News

Sample Link List

Jumat, 03 Januari 2020

Kepemimpinan Pemerintahan


ALFERDO SATYA KURNIAWAN/201810050311094/ILMU PEMERINTAHAN B
UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

A
1. Dalam kasus di sebagaimana hasil penetian di bawah ini: jelaskan bagaimana partisipasi, transparansi, akuntabilitas diimplementasikan?  Mengapa menjadi pilihan? Apa dampak dari kebijakan dalam pembangunan daerah?
Jawaban:      
Partisipasi, transparansi, dan  akuntabilitas diimplementasikan dengan berpikiran relatif terbuka untuk inovasi yang mana melibatkan peran penting partisipasi dari agen yang berkomitmen, baik bupati maupun birokrasi daerahnya dan organisasi masyarakat sipil yang kuat.  Selanjutnya, transparansi dilakukan sesuai dengan internalisasi nilai partisipasi yakni sebuah proses yang diuntungkan dari momentum partisipatif yang tinggi demokrasi yang berhasil mewujudkan demokrasi partisipatif ruang dan dalam mengelola partisipasi publik. Di mana bagaimana ruang politik terbuka untuk masyarakat luas partisipasi, dan bahwa pemerintah mengelola partisipasi ruang melalui kebijakan, untuk publik bisa mengekspresikan hak politik mereka, memantau dan memberi penghargaan kepada para pemimpin mereka melalui pemilihan umum secara langsung. Pengimplementasiannya,
Bapak Yoto atau Kang Yoto dengan berkomitimen dan sadar akan hak politik orang, maka ia menyatakan bahwa bersedia dan  siap untuk diawasi dan dievaluasi di tahun pertama dan apabila didapati tidak dapat memenuhi janji akan bersedia unutuk mengundurkan diri dari jabatan. Hal ini diungkapkan karena masyarakat memiliki kebutuhan yang besar sehingga pada proses kampanye Kang Yoto  menawarkan modal penting untuk perbaikan program administrasi untuk mewujudkan good governance. Kemudian, partisipasi juga diimplementasikan dalam kebijakan melalui Pasal 5, Paragraf 2, tentang Peraturan Daerah No. 23 tahun 2011, yang bekerja untuk memberdayakan masyarakat di Bojonegoro, termasuk pengusaha lokal, perusahaan, perusahaan milik pemerintah daerah, dan koperasi, dalam penggunaan manfaat sosial ekonomi dari proyek minyak dan gas. Kemudian, untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat, pihak pemerintah daerah telah membuka tiga jenis dialog publik. Pertama adalah "mimbar", yang diadakan setiap hari Jumat mulai pukul 13:00 hingga 15:00 di Kantor Bupati yang diadakan dua hari setelah Bapak Suyoto dilantik, dan adalah yang pertama ruang untuk partisipasi masyarakat di Bojonegoro sejak itu desentralisasi dilaksanakan.
Dalam dialog publik ini, masyarakat umum dapat memberikan saran dan keluhan langsung ke Bupati Bojonegoro dan berbagai pekerjaan kelompok. Yang kedua adalah melalui hotline yang digunakan layanan pesan singkat dan email untuk memungkinkan orang-orang Bojonegoro untuk langsung mengawasi pemerintahan mereka. Semua penduduk Bojonegoro didorong untuk mengirim SMS pesan melalui telepon seluler ke 08113406688 atau melalui email ke kangyoto_bjn@yahoo.com. Ketiga, ada yang langsung interaksi antara bupati dan rakyat. Dengan Bupati mengunjungi berbagai desa di Bojonegoro untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat dan dengan demikian mereka mampu memenangkan dukungan dan memperoleh kepercayaan mereka atas warga. Ketiga kegiatan tersebut diikuti oleh pertemuan mingguan, diadakan setiap hari Rabu, yang dihadiri oleh bupati, wakil bupati, kelompok kerja terkait, dan perwakilan perusahaan.
            Transparansi digunakan sebagai mekanisme untuk dua aktor penting dalam tata kelola sumber daya alam di Bojonegoro, yakni pemerintah daerah dan bagi hasil mitra kontrak (termasuk perusahaan minyak dan gas). Lingkungan pemerintah berkewajiban atas transparansi terkait penentuan dana yang dialokasikan untuk desa. Sementara itu, mitra kontrak kerja  didorong untuk secara aktif menyediakan informasi peluang bisnis dan kompetitif proses seleksi, dan untuk menawarkan paket kerja ke pengusaha lokal, perusahaan, dan pemerintah daerah yang dimiliki perusahaan. Mitra kontrak bagi hasil juga wajib bekerja secara kooperatif dengan parlemen, kecamatan dan pemerintah desa, dan BAPPEDA pada sosial perusahaan pelaksanaan tanggung jawab, dan untuk mensosialisasikan dampak yang negatif  dari eksplorasi / eksploitasi minyak dan gas.
            Sementara itu, pengimplementasian dari akuntabilitas atau pertanggungjawaban atas komitmen yang telah disampaikan Kang Yoto beserta konstituennya mengacu pada pelembagaan partisipasi, transparansi dan akuntabilitas di Bojonegoro diterapkan di dalam kerangka kerja enam pilar pembangunan berkelanjutan: ekonomi, lingkungan, masyarakat, otoritas fiskal, bersih dan tata pemerintahan yang baik, dan para pemimpin daerah yang transformatif. (Suyoto 2014). Berdasarkan Keputusan Bupati, dan Peraturan Bupati No. 31 Tahun 2009 tentang Pedoman untuk Menentukan Alokasi Proporsional Dana Desa. Institusionalisasi akuntabilitas, dipahami seperti pemantauan, penegakan, audit, dan pelaporan, telah memimpin untuk pembentukan tim yang ditugaskan untuk mengawasi dan mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan konten lokal (Tim Optimalisasi Konten Lokal) dan pembuatannya mekanisme audit melalui Keuangan Pemerintah Daerah Pernyataan di dua tingkat: publik dan BPK. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (2010) menunjukkan bahwa Bojonegoro adalah satu-satunya kabupaten atau kota yang telah memberi wewenang kepada masyarakat untuk melakukan pemantauan melalui laporan keuangan tersebut.
             Pengimplementasian terhadap partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dipilih untuk menjadi acuan dalam pembangunan Bojonegoro karena melihat kondisi Bojonegoro yang memiliki kebutuhan besar dalam pembangunan dan untuk mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah mengenai desentralisasi di Indonesia mengenai perencanaan pembangunan.
            Dampak dari kebijakan dalam pembangunan daerah di Bojonegoro oleh Pemimpin Bojonegoro yang kuat dalam berkomitmen, bergabung dengan institusionalisasi yang kuat, telah menciptakan kepercayaan pemerintah. Tindakan-tindakan politik ini telah menghasilkan ekonomi peluang dan memastikan investasi dan pengembangan positif yang akibatnya wilayah yang kaya sumber daya ini telah memperoleh peluang ekonomi yang signifikan dan menggunakan sumber daya sebagai pendorong pengembangannya sendiri. Ilustrasi ekonomi Pertumbuhan Bojonegoro menunjukkan bagaimana pendapatan migas dapat mendorong pembangunan ekonomi karena minyak dan gas telah menjadi pendorong kuat bagi percepatan pembangunan di Bojonegoro. 
            Ditambah adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya dan menyebabkan Bojonegoro menikmati ekonomi yang lebih besar pertumbuhan dari rata-rata di Jawa Timur, Meningkatnya pembangunan daerah dapat dilihat dari dua faktor: (1)peningkatan skor indeks pembangunan manusia dan (2) pengurangan tingkat kemiskinan dengan jumlah orang yang hidup di bawah kemiskinan di Bojonegoro telah menurun secara signifikan, dari 262.037 menjadi 227.089 orang pada tahun 2009. Bojonegoro memiliki sejarah panjang kemiskinan; pada tahun 2000, berada di peringkat 30 (dari 37 kabupaten) di Indonesia-Jawa Timur.




2. Apa kunci utama hadirnya inovasi kepemimpinan dalam kasus ini?
Jawaban:      
Kunci utama dalam hadirnya inovasi kepemimpinan tersebut ialah adanya kepercayaan dan kemauan untuk berkomitmen berpikir secara maju dan selalu berinovasi bagi seorang pemimpin dan juga kalangan institusi yang ada sehingga dalam hal tersebut mampu mengubah ketidakmampuan menjadi kekuatan baru dengan pertumbuhan yang terjadi di sektor-sektor penting. Maka, pembagian kekuasaan terjadi secara balance atau seimbang antara kepemimpinan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif

3. Adakah framework lain yang dapat digunakan untuk memahami fenomena kepempinan politik Toto? Selain pendekatan good will dan institutionalism.
Jawaban:
      Tentu ada. Dengan menggunakan kerangka teori implementasi Menurut Mazmanian dan juga Sabatier dalam (Wahab, 2008: 68) Implementasi merupakan suatu  pelaksanaan, keputusan kebijakan dasar, yang biasanya dalam bentuk undang-undang, namun bisa juga berbentuk suatu perintah-perintah atau keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Kemudian indicator kesuksesan dari teori implementasi menurut Masmanian dan Sabatier terdiri dari 3 karakteristik, yakni:
1.      Karakteristik Masalah
Dalam karakteristik masalah ini, melihat bagaimana atau seperti apa suatu permasalahan yang terjadi atau muncul. Apakah permasalahan yang terjadi tersebut tergolong masalah social sulit atau masalah social yang termasuk kedalam katagori mudah.
2.      Karakteristik Kebijakan
Maksud dari adanya karakteristik kebijakan ini maksudnya adalah, bahwasanya kebijakan yang diambil atau yang dikeluarkan dalam segi konten atau isinya, subtansinya haruslah jelas. Maksudnya adalah kejelasan dalam isi suatu kebijakan tersebut, nantinya akan memengaruhi atau berdampak pada kepahaaman akan sebuah penafsiran, yang dimana ketika isi dalam sebuah kebijakan tersebut jelas. Maka akan meminimalisir terjadinya kesalah pahaman penafsiran. Sebaliknya ketika kebijakan tersebut masih belum jelas akan isinya alias mengambang, maka akan banyak terjadi kesalah pahaman penafsiran.
3.      Karakteristik Lingkungan Kebijakan
Maksud dari lingkungan kebijakan ini adalah melihat dari segi lingkungan sekitar yang memungkinkan memberikan pengaruh atas kebijakan yang telah dikeluarkan. Pada intinya karakteristik lingkungan kebijakan ini, menjadi fator pendukung atas kebijakan apa yang telah diambil. Seperti halnya bagaimana kondisi social masyarakat dan tingkat kemajuan teknologinya.

Dengan melihat 3 karakteristik tersebut, dirasa bisa membawa perubahan untuk daerah yang ada.
B
Bagaimana dengan daerah anda? Adakah inovasi yang kepemimpinan politik yang dilakukan? Jelaskan! Mengapa menjadi pilihan? Framework apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan? Apa dampak dari inovasi tersebut?
Jawaban:      
Kabupaten Ngawi tentu saja ada inovasi politik yang dilakukan, yakni dengan melakukan pemaksimalan dalam melakukan perkembangan ekonomi PPD (perencanaan pembangunan daerah)         yang mendapatkan perhagaan dari Pemkab Jatim yang mana hal tersebut merupakan perbaikan dan inovasi dalam pengembangan pelayanan dan pembangunan di Kabupaten Ngawi inovasi, perubahan yang positif.
            Framework yang digunakan ialah pembagunan daerah tertinggal dan juga pembenahan daerah agar terciptanya masyarakat yang berdaya saing dan tumbuh perekonomiannya.  Di Kabupaten Ngawi pembangunan akhir-akhir ini sangat banyak sebagai contoh ialah pembangunan kawasan wisata di aera Jogorogo seperti Srambang Park dimana daerah tersebut sebelumnya sangat sepi dan minim pergerakan ekonomi, sekarang mulai beranjak menjadi daerah yang ramai pengunjung dan mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar
            Dampak dari inovasi ini adalah adanya pembangunan yang semakin meningkat yang mampu menjadikan Kabupaten Ngawi berdaya saing dengan daerah lainnya.

C
Apa yang anda pikirkan dan rasakan melihat perkembangan pembangunan di daerah anda? Jika anda punya kesempatan politik apa yang akan anda lakukan?
Jawaban:      
            Saya merasa bangga karena daerah Kabupaten Ngawi semasa saya kecil sangat sepi dan juga minim dari refrensi pembangunan dan wisata daerah. Di daerah perkotaan sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pembangunan sekarang sudah banyak perubahan dan juga sangat pesat. Pembangunan daerah dan juga pengembangan daerah wisata di Kabupaten Ngawi mulai berkembang dan menjadikan Kabupaten Ngawi lebih bisa terkenal dalam kalangan wisatawan lokal daerah lain.
            Jika saya mempunyai kesempatan politik yang akan saya lakukan ialah memberikan pelayanan perizinan yang mudah atas pengembangan daerah atau potensi wisata dengan baik. Dan juga saya ingin pembangunan yang lebih merata, tidak hanya wisata tetapi juga pembangunan infrastruktur penunjang arus roda perekonomian warga. Dengan melihat permasalahan yang ada sekarang di Kabupaten Ngawi, dari hal tersebut dirasa bisa membuat inovasi terbaru dan juga membawa dampak lebih ke masarakat yang sangat positif.
Read more ...

Minggu, 22 Desember 2019

Fenomena Dalam Gunung Es dan Kompleksitas Penganggaran


1.   Berikan 1 Fenomena yang nampak dan dalami menggunakan system thinking gunung es 

FENOMENA. Korupsi yang terjadi di area birokrasi baik Pemerintahan maupun BUMN
POLA PERILAKU. Korupsi yang terjadi melibatkan banyak sekali politisi          
PENYEBAB. Kurangya kesadaran bela negara dan juga keinginan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang cepat dan mudah tanpa menghiraukan apa yang akan diperoleh
PARADIGMA. Korupsi sering kali menjadi momok yang sangat menyengsarakan bagi negara. Para politisi yang melakukan tindak kejahatan tsb kebanyakan mereka dari kalangan yang sangat terpandang dan juga mempunyai track record yang bagus dalam kepemerintahan. Kebanyakan mereka melakukan korupsi di dalam sektor atau di dalam progam kerja pemerintah berupa proyek besar yang membutuhkan banyak dana. Mereka tergiur untuk mendapatkan uang korupsi tanpa memikirkan bagaimana proyek negara yang dikenakan untuk masyarakat bisa berjalan dengan baik.

2.      2. Dalam hal proses penanggaran di pemerintahan, apakah kompleksitas yang dihadapi oleh politisi yang dihadapi oleh kepala daerah, kepala dinas, dan anggota dinas

·      Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
·      Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
·      Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
·      Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
·      Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
·      Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.
·      Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
·      Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
·      SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
·      APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
·      Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
·      Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
·      Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang hanya melihat ke akar masalah  saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu.
Read more ...
Designed By Alferdo 1922