1. Berikan 1 Fenomena yang nampak dan dalami
menggunakan system thinking gunung es
FENOMENA. Korupsi yang terjadi di area birokrasi baik
Pemerintahan maupun BUMN
POLA PERILAKU. Korupsi yang terjadi melibatkan banyak sekali
politisi
PENYEBAB. Kurangya kesadaran bela negara dan juga keinginan
untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang cepat dan mudah tanpa
menghiraukan apa yang akan diperoleh
PARADIGMA. Korupsi sering kali menjadi momok yang sangat
menyengsarakan bagi negara. Para politisi yang melakukan tindak kejahatan tsb
kebanyakan mereka dari kalangan yang sangat terpandang dan juga mempunyai track
record yang bagus dalam kepemerintahan. Kebanyakan mereka melakukan korupsi di
dalam sektor atau di dalam progam kerja pemerintah berupa proyek besar yang
membutuhkan banyak dana. Mereka tergiur untuk mendapatkan uang korupsi tanpa
memikirkan bagaimana proyek negara yang dikenakan untuk masyarakat bisa
berjalan dengan baik.
2. 2. Dalam hal proses penanggaran di pemerintahan, apakah
kompleksitas yang dihadapi oleh politisi yang dihadapi oleh kepala daerah,
kepala dinas, dan anggota dinas
· Intervensi hak
budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan
kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan
dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match
misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak
usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi
legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk
mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas
yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif
ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi
atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement)
atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali
mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara
eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk
“menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu
untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian
“Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk
menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana
aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
· Pendekatan
partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi
retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh:
Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini
berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang
sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
· Proses
Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena
ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih
bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak
seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang
disetujui juga semakin banyak. Ibarat
memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
· Ketersediaan
dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan
anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada
bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan
hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan
Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
· Breakdown RPJPD ke RPJMD
dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada
kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan
acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah
satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas
kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya
dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program
sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan
yang lalu dan tidak visioner.
· Kualitas RPJPD,
RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa
kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah;
indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat
berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta
analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah
pada “how to achieve” suatu target.
· Terlalu banyak
“order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus
utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster
mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk
menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang
seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi
menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan
lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong
adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai
tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan
munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan
Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
· Koordinasi
antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga
kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul
egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong
program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi
batubara di lokasi tersebut.
· SKPD yang
mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali
tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya
proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya
tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan
rencana.
· APBD
kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain
Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain
itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi
anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama
dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
· Kualitas hasil Musrenbang
Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang
berkualitas.
Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005
diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah
Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam
bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk
bimbingan fasilitasi di lapangan.
· Pedoman untuk Musrenbang atau
perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan
secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa
dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan,
teknologi dll.
·
Dalam
praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang hanya melihat ke akar
masalah saja dapat berpotensi menimbulkan
bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa
di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya
pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di
wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan
“gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai
beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan
kemudian dijadikan Posko Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar